24 Warisan Budaya Tak Benda di Gunungkidul Kantongi Hak Kekayaan Intelektual

GUNUNGKIDUL—Dinas Kebudayaan (Disbud) Kabupaten Gunungkidul mencatat bahwa sudah ada sebanyak 24 Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) yang mendapat Hak Kekayaan Intelektual (HKI).

WBTB yang sudah mengantongi HKI meliputi Rinding Gumbeng, Wayang Beber Remeng Mangunjoyo, Kethek Ogleng, Tayub Yogyakarta, Kampung Pitu, Sadranan Gunungkidul Logantung, Sadranan Gunungkidul Alas Wonosadi, Sadranan Gunungkidul Gunung Genthong dan Cupu Panjolo.

Selain itu, Cing-Cing Goling, Madilakhiran Wonontoro, Rasulan, Upacara Adat Gumbregan, Upacara Tradisi Babad Dalan, Ngalangi, Wayang topeng, Gerit-gerit lancing, Sego Pari Gogo, Wader Liwet, Thetelan, Sadranan Mbah Jobeh, Upacara Adat Kirim Dowa, Sadranan Gunung Gambar, dan Jangan Lombok Ijo.

Kepala Disbud Gunungkidul, Chairul Agus Mantara mengatakan WBTB yang telah memiliki sertifikat HKI akan terus dikembangkan. Dengan begitu, WBTB dapat memberikan manfaat. “Kami akan menggelar warisan budaya tak benda. Kami pernah menggelar di Obelix Sea View,” kata Agus dihubungi, Jumat (17/5/2024).

Agus mengaku gelaran WBTB akan menarik minta pengunjung. Pengunjung juga tertarik mengenai proses produksi seperti wader liwet. Dari situ, Disbud berharap ada pengembangan industri kebudayaan.

Perlindungan dan pemanfaat perlu dilakukan secara beriringan. Perekonomian masyarakat pun dapat semakin kuat.

“Kalau regulasi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memang WBTB sudah otomatis di-link-kan ke HKI. Tapi, Kemenkumham meminta agar ada pendaftaran HKI agar posisinya lebih kuat,” katanya.

Sementara itu, Kepala Dinas Pariwisata (Dispar) Gunungkidul, Oneng Windu Wardana mengatakan WBTB dapat menjadi salah satu kekuatan destinasi wisata. Menurut dia, destinasi wisata tidak semata-mata alam atau wisata buatan.

Windu menegaskan kerja sama dengan Dinas Kebudayaan melalui berbagai pentas atraksi juga menjadi konsep pengembangan pariwisata oleh Dispar. Hanya, Dispat mengaku ada beberapa kendala dalam pengembangan tersebut.

Menurut Windu, Dispar kesulitan dapat mengejar pendapatan asli daerah (PAD) apabila fokus pada pengembangan atraksi. Begitupun sebaliknya, apabila fokus pada PAD, maka pengembangan atraksi justru tertinggal.

“Kami masih fokus pada PAD. Itu cukup menyita tenaga kami,” kata Windu.

 

sumber: harianjogja.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *