GUNUNGKIDUL – Ilmu tidak hanya didapatkan lewat bangku sekolah formal. Di sisi tenggara Gunungkidul, warga mendirikan sanggar sebagai sarana berbagi ilmu. Sanggar yang sudah dirintis sejak 2014 itu diberi nama Lumbung Kawruh.
Di sebuah bangunan tanpa pintu dan jendela yang menjadi lokasi Sanggar Lumbung Kawruh, puluhan anak-anak di Dusun Ngurak-Urak, Kalurahan Petir, Kapanewon Rongkop saling berbagi ilmu. Di sana ada pojok pustaka berisi koleksi buku yang bisa dibaca. Namun, sebenarnya anak-anak itu bisa belajar dari mana saja.
Pendiri sekaligus pengelola sanggar, Ribut Subronto menegaskan, anak-anak bisa belajar tanpa batasan. Sebagai lumbung kawruh atau pengetahuan, sanggar itu menampung siapa pun yang ingin membagikan ilmu maupun ngangsu kawruh atau menuntut ilmu. “Mau ngangsu kawruh atau membagikan kawruh, di sinilah tempatnya. Siapa saja boleh datang, jadi pembelajar maupun pemateri. Intinya sinau sareng-sareng,” kata Ribut
Warga asli Ngurak Urak, Kalurahan Petir, Kapanewon Rongkop, Gunungkidul ini bercerita jika sanggar tersebut ia dirikan bersama kawan-kawannya karena merasa perlunya wadah pendidikan alternatif. Terlebih, dia memiliki alasan pribadi karena dirinya sendiri tidak mampu bersekolah tinggi, sehingga ingin membentuk wadah untuk saling belajar di dusun.
Mulanya, Ribut dan teman-temannya sesama pehobi Vespa sering melancong ke luar kota untuk mencari pengalaman. Dia merasa perjalanan itu mengajarkannya banyak hal karena disaat dia bertemu orang baru di daerah baru itu ia gunakan untuk menuntut ilmu.
Saat tiba di Tangerang Barat, dia dan teman-temannya terjun ke dunia literasi dengan mendirikan Taman Baca Baleraja. “Di situ, saya merasa asyik, nyaman. Saya merasa ternyata saya ada manfaatnya. Karena saya bukan yang berpendidikan tinggi, saya ingin generasi mendatang bisa sekolah tinggi. Golek kawruh itu enggak semahal haris membeli ini-itu, tetapi menciptakan tempat di mana kita bisa belajar bersama,” ungkapnya.
Pria berambut gimbal ini merasa bahwa dunia literasi merupakan hal yang baru baginya. Tak berhenti di Tangerang, dia pun membuat wadah serupa di kampung halamannya di Rongkop.
Selama pendirian awal, dia masih bolak-balik Tangerang-Rongkop untuk mengelola keduanya. Barulah empat tahun terakhir ia kembali ke Rongkop untuk fokus mengembangkan Sanggar Lumbung Kawruh agar berkelanjutan.
Kini, Sanggar Lumbung Kawruh fokus berkegiatan dengan puluhan anak-anak praremaja di dusun setempat.
Sejumlah programnya berlandaskan kepada fondasi Tular Sawrung yang mencakup tujuh pilar, yaitu Seni, Rasa, Akhlak, Wawasan, Unggah-Ungguh, Niaga, dan Guyub atau Gotong Royong. “Kapan pun bisa belajar, 24 jam terbuka untuk siapa saja. Anak-anak bisa request, ‘Om, mbok tolong aku diajari ini, misal menari’. Nanti kami carikan teman yang bisa mengajari, dia bisa mengisi kegiatan kapan. Tetapi kalau rutinnya kami fokuskan pada Sabtu dan Minggu,” kata dia.
Saat mendirikan taman baca di Tangerang, Ribut menyadari bahwa membuat kegiatan di daerah lain justru lebih bisa diterima ketimbang merintis kegiatan di tempat sendiri.
Oleh karena itu, ketika kembali ke kampung halamannya, dia pun membuka diri terhadap kontribusi banyak pihak yang bersedia membantu Sanggar Lumbung Kawruh.
Dia membuka diri terhadap siapapun yang mau berkegiatan, meskipun dia bukan berasal dari Dusun Ngurak-urak. Dia pun terbuka jika ada komunitas lain yang ingin berkolaborasi, meskipun berbeda bidang. “Kadang justru dengan kolaborasi dengan komunitas yang berbeda bidang itu kita menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Jadi meskipun kita masih sanggar kecil, tetapi ketika kami padukan dengan komunitas lain malah jadinya lebih enteng dan hasilnya lebih wah,” tutur Ribut.
Kegiatan pendampingan anak-anak dusun untuk belajar ini pun rupanya makin dibutuhkan ketika pandemi Covid-19 melanda sejak 2020 lalu.
Momen itu membuat anak-anak beserta orang tuanya membutuhkan sebuah wadah karena pembelajaran di sekolah beralih ke daring.
“Saat itu para wali dari anak-anak dusun mencari cara agar anak-anak bisa punya kegiatan, karena mereka bermain gawai terus. Kan seharusnya mereka tidak menghabiskan waktu untuk itu saja ya, tapi lebih pada kegiatan nyata,” ujarnya.
Dari ketujuh pilar yang menjadi pondasi sanggar, Ribut dan kawan-kawannya terus mendampingi anak-anak di Dusun Ngurak-urak untuk bisa berbagi ilmu dan menambah keterampilan.
Dengan begitu, mereka bisa sekaligus belajar berorganisasi dan memiliki bekal ketika ingin menggapai cita-citanya.
sumber: harianjogja.com