Banyak Penyandang Disabilitas, Planjan Layak Jadi Desa Inklusi

GUNUNGKIDUL—Desa Planjan, Kecamatan Saptosari, layak menjadi desa inklusi di Gunungkidul. Hal ini disampaikan oleh Dosen Pembimbing Lapangan KKN Tematik Inklusi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Siti Aminah, dalam Sosialisasi Kesetaraan Masyarakat di Balai Desa Planjan, Kamis (25/7/2019).

Dia menjelaskan, salah satu indikator untuk penetapan desa inklusi karena di Desa Planjan terdapat banyak anggota difabel. Dia mencatat di desa ini terdapat lebih dari 200 orang yang menjadi penyandang difabel. “Mudah-mudahan Planjan bisa menjadi desa inklusi,” katanya, Kamis.

Menurut dia, salah satu tahapan menuju desa inklusi dilakukan sosialiasi tentang masalah kesetaraan. Sosialisasi tidak hanya mengundang masyarakat, tetapi juga mendatangkan narasumber dari Pemkab Gunungkidul hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak dalam perlindungan dan pemberdayaan kelompok difabel. “Dalam sosialisasi dijelaskan bagaimana konsep kesetaraan yang tidak membeda-bedakan satu sama lainnya,” ujarnya. Diharapkan dengan kegiatan ini, masyarakat menjadi sadar dan mempunyai sikap empati kepada sesama tanpa diskriminasi terhadap perbedaan.

Direktur Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (Sigab), Suharto, mengatakan masyarakat harus mengerti tentang insklusi. Menurut dia, inklusi adalah semua orang yang jadi bagian dari masyarakat tidak ada yang dianaktirikan atau dikucilkan. “Penyandang disabilitas harus bisa diterima di masyarakat sehingga bisa membentuk desa inklusi,” katanya.

Suharto menjelaskan, ada tujuh indikator dalam pembentukan desa inklusi. Ketujuh indikator meliputi data akurat tentang difabel, adanya wadah organisasi, surat keputuan pembentukan desa inklusi dan regulasi. Selain itu, desa inklusi harus didukung aksesbilitas fisik, layanan ramah difabel hingga adanya kerja sama dalam masyarakat yang melibatkan kelompok difabel. “Semua harus terpenuhi,” katanya.

Salah seorang penyandang difabel, Tri Wibowo, mengatakan keberadaan desa inklusi sangat dibutuhkan. Menurut dia, tanpa layanan ini maka kelompok difabel kesulitan menjalankan aktivitasnya. “Harapannya bisa dibentuk karena keberadaannya bisa membantu dalam upaya mengembangkan potensi yang dimiliki anggota kelompok difabel,” katanya.

 

sumber: HarianJogja.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *