Bupati Gunungkidul Satu-Satunya Kepala Daerah Penerima Penghargaan “Champion Daerah”

Mengingat Perkawinan Anak masih menjadi keprihatinan nasional untuk itu Negara harus hadir dengan upaya yang strategis dan lebih masif dalam menyelesaikan masalah tersebut. Perkawinan anak adalah merupakan pelanggaran atas hak anak yang merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia, pelanggaran hak baik terhadap anak perempuan maupun anak laki-laki dan tentu akan berdampak lebih parah terhadap anak perempuan, karena anak- anak akan rentan kehilangan hak pendidikan, kesehatan, gizi, perlindungan dari kekerasan, eksploitasi, dan tercabut dari kebahagiaan masa anak-anak.

KPP-PA sebagai Kementerian yang bertanggungjawab dalam mengkoordinasikan terkait urusan perlindungan anak termasuk pencegahan perkawinan anak, sejak tahun 2016 telah melakukan upaya yang bersifat strategis yang diwujudkan secara konkrit dan sudah dicanangkan melalui “Gerakan Bersama untuk Stop Perkawinan Anak” Bulan November 2017 silam. Upaya lain yang strategis juga telah diintegrasikan dalam Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) yang saat ini di 389 Kabupaten, Kota telah melakukan inisiasi dan mendeklarasikan Kabupaten/Kota Layak Anak.
Dengan upaya tersebut sangat diharapkan dapat mengubah mindset baik dari para pengambil keputusan maupun masyarakat bahwa perkawinan anak sangat merugikan bagi Negara.

Salah satu dari 389 Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) adalah Kabupaten Gunungkidul yang diverifikasi untuk ditetapkan sebagai penerima penghargaan Champion Daerah oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP-PA) R.I.

Proses pemberian Penghargaan Champions daerah, sebagai hasil seleksi yang dimulai sejak minggu kedua bulan November 2018 yang melibatkan Kementerian/Lembaga Masyarakat serta media, hingga pada akhirnya ditentukan daerah yang berhak mendapatkan penghargaan dengan ketentuan/kriteria yang sudah disyaratkan. Kriteria tersebut diantaranya; daerah memiliki regulasi dan kebijakan terkait pencegahan perkawinan anak; Memiliki program, kegiatan dan alokasi anggaran; Memiliki jaringan dan kerjasama strategis sesuai dengan kekuatan dan potensi lokal; Memiliki prestasi; Memiliki inisiatif; Memiliki perspektif gender dan hak anak; Diakui oleh lingkungan/institusinya; Memiliki inisiatif dan inovasi warga; Memiliki data; Mendapatkan pengakuan; Memiliki upaya pencegahan perkawinan anak 2 (dua) tahun terakhir; Tidak memiliki regulasi/kebijakan yang diskriminatif; dan Dibuktikan dengan foto atau video aktivitas.

Pada akhirnya KPP-PA menetapkan nama-nama penerima penghargaan berdasarkan 4 (empat) kategori yaitu; Kategori Kepala  Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Kategori Organisasi Non Pemerintah, Kategori Aktor di bawah 18 tahun dan Kategori Aktor Diatas 18 Tahun.

Dari kriteria yang disyaratkan tersebut diatas Kabupaten Gunungkidul dinyatakan telah memenuhi dan memberikan sumbangsih kinerja terbaik bagi bangsa untuk melakukan upaya dalam pencegahan perkawinan usia dini.

Bupati Gunungkidul merupakan satu satunya kepala daerah di Indonesia yang mendapatkan penghargaan Champion Daerah Tahun 2018.

Penghargaan diserahkan oleh Presiden RI Ir. Joko Widodo, yang diwakilkan Staf Khusus Presiden Deputi V, Jaleswari kepada Bupati Hj. Badingah, S.Sos., di Aula Sasono Mulyo Hotel Le Meridien, Jakarta, Selasa, (18/12), yang dikemas dalam tajuk “Dialog Publik dan Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak”

Tampak hadir pada kegiatan penerimaan penghargaan ini, Kementerian PUPR, Kementerian Agama, Staf Khusus Presiden Deputi V, Deputi Perlindungan Anak KPPPA, Penggiat Pemerhati Pencegahan Perkawinan Anak, Forum Anak.

Deputi Perlindungan Anak KPP-PA, Lenny selaku ketua penyelenggara melaporkan, Penghargaan ini merupakan rangkaian kegiatan Memperingati 16 Hari Peringatan Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dengan focus Pencegahan Perkawinan Anak Tahun 2018, yang diselenggarakan tanggal 26 November 2018 di Istana Negara Jakarta dengan mengambil tema “Penghentian Perkawinan Anak”.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Perkawinan Usia Anak Masih Banyak Terjadi di Indonesia. 1 dari 4 atau 23% anak perempuan menikah pada usia anak/dini, yaitu sebelum dia mencapai 18 tahun. Setiap Tahunnya, ada 340 ribu anak perempuan yang menikah dibawah usia 18 tahun, dan 2017 Jumlah perkawinan Anak sudah mencapai hampir 25,17%. Data perkawinan anak semakin meningkat, hal itu dilihatnya dari data BPS tahun 2017,dimana sebaran angka perkawinan anak diatas 25% berada di 23 provinsi dari 34 provinsi di Indonesia.

“Kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan karena anak telah kehilangan hak-hak yang seharusnya dilindungi oleh negara. Jika kondisi ini dibiarkan tentu akan menjadikan Indonesia berada dalam kondisi darurat perkawinan anak, dan tentu saja akan semakin menghambat capaian tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945”, terangnya.

Komitmen Negara untuk menghentikan praktik perkawinan anak harus dilakukan sebagai bentuk dalam menjamin perlindungan anak.

Negara menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan serta diskriminasi termasuk dari praktek perkawinan anak, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Perlindungan Anak, juga ratifikasi Konvensi Hak Anak.

Dampak perkawinan pada usia anak akan berdampak pada kesehatan, pekerjaan dengan angka 69 % bekerja disektor informal dan 31 disektor formal, KDRT, perceraian dan berujung pada pemiskinan perempuan secara struktural, sehingga menghambat indeks pertumbuhan manusia dan pencapaian bonus demografi pada tahun 2045 serta menghambat dalam Tujuan Pembangunan yang Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals/SDGs yang sudah menjadi komitmen global bersama.

“Untuk Itulah, praktik perkawinan anak ini harus segera dihentikan, dan saya berharap semua pihak agar menggelorakan dan mendukung stop pernikahan anak usia dini”, pungkasnya.

Sementara itu, Presiden Joko Widodo, melalui Staf Khusus Kepresidenan Deputi V, Jaleswari, dalam sambutannya menyampaikan, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia bertanggung jawab mengantarkan anak-anak memasuki gerbang masa depan yang terbaik. Pemerintah dan rakyat Indonesia harus memperhatikan nasib anak-anak sebagai penerus bangsa menuju Indonesia Layak Anak tahun 2030 serta Indonesia Emas tahun 2045.

“Kini kita patut bersyukur karena dalam kurun waktu empat (4) tahun terakhir, kita mencatat berbagai kemajuan dan capaian yang menggembirakan dalam hal pembangunan bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak,” terangnya.

Ini merupakan wujud dari komitmen “negara yang hadir” untuk memajukan, melindungi dan memenuhi hak-hak Konstitusional perempuan dan anak Indonesia, tanpa terkecuali, komitmen “meningkatkan kualitas sumber daya insani/manusia Indonesia” dan “Revolusi karakter bangsa” sebagaimana tercantum dalam Nawacita satu(1), lima (5) dan delapan (8).

Secara khusus, terkait agenda Penghapusan Diskriminasi dan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak, kami ingin menggaris bawahi bahwa intervensi pemerintah selama ini cukup komprehensif dan mencakup semua lini.Di bagian hulu Pemerintah terus meningkatkan kapasitas pemajuan dan perlindungan hak-hak perempuan dan anak bebas dari diskriminasi dan kekerasan. Selain terbitnya berbagai regulasi nasional hingga daerah.

Pemerintah secara intensif melaksanakan agenda mengutamakan perspektif gender dan hak anak secara komprehensif kedalam rencana pembangunan, khususnya di tingkat kabupaten/kota “Antara lain, Sekolah Ramah Anak, Puskesmas Ramah Anak serta Ruang Kreativitas Anak, Pusat Pembelajaran Keluarga, Forum Anak, Penguatan Keluarga Pengganti bagi anak tanpa keluarga, serta Forum Partisipasi Publik untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak,” masih terang Jaleswari.

Menyadari seriusnya persoalan Perkawinan Anak ini, tambahnya, pada tahun 2016 Presiden Joko Widodo telah memberi perhatian maksimal dengan menyetujui usulan CSO tentang perlunya diterbitkan sebuah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Penghapusan Perkawinan Anak.

“Namun hari ini, kita bersyukur bahwa MK mengeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017 Tentang Batas Minimum Usia Kawin yang menaikkan batas minimal usia perkawinan,”pungkasnya.

Ditempat yang sama, Bupati Gunungkidul, Hj. Badingah, S.Sos., menghaturkan terima kasih kepada Presiden dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Yohana Yambise serta tim seleksi.

“Karena telah menetapkan saya, Bupati Gunungkidul sebagai penerima penghargaan upaya pencegahan perkawinan pada usia anak, untuk kategori Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota,” ungkapnya.

Pada kesempatan yang baik ini, lanjut Bupati, juga mengucap syukur dan terimakasih kepada semua pemangku kepentingan di Kabupaten Gunungkidul.

“Karena telah bekerja sama, bahu-membahu untuk melakukan upaya-upaya pencegahan perkawinan pada usia anak, penghargaan ini bukan untuk saya tetapi untuk masyarakat yang telah banyak memberikan dukungannya, kepada Pemerintah Daerah”, pungkasnya.

 

sumber: Web Portal Gunungkidul

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *